Kabar soal 'lolosnya' Satinah dari eksekusi mati di Arab Saudi dalam
dua hari terakhir kian santer. Baik di media sosial maupun media massa.
Kabar itu jamak menyebut Satinah dipastikan bebas dari eksekusi
pancung, setelah pemerintah RI bersedia nembayarkan diyat Rp 21 miliar.
Namun kabar ini masih disambut dingin keluarga Satinah, di Dusun
Mrunten Wetan, Desa Kalisidi, Kabupaten Senarang, Jawa Tengah. "Saya juga
melihat sendiri melalui running text di sebuah stasiun televisi, perihal
bebasnya Satinah," kata Sulastri (38), kakak ipar Satinah, Jumat (4/4).
Menurutnya, pihak keluarga
masih enggan berkomentar banyak terkait informasi soal Satinah yang
dikabarkan bebas. Alasannya pihak keluarga belum mendapatkan kabar langsung
dari tim yang diutus pemerintah ke Arab Saudi.
"Keluarga belum mendapatkan kabar apa pun dari pemerintah pusat,
jadi saya tidak ingin berkomentar dulu, apalagi persiapan keluarga,"
jelasnya.
Hal ini diamini Paeri al Feri (45), kakak kandung Satinah. Menurutnya,
pihak keluarga tak ingin banyak berkomentar dahulu. Karena apa hasil tim utusan
pemerintah dalam mengupayakan pengampunan Satinah juga belum diketahuinya.
"Jika keluarga berkomentar banyak, justru keluarga khawatir keputusan akan
berubah lagi," tegas Paeri.
Ia mengakui, kabar terakhir soal Satinah memang marak di media. Namun
di balik semua ini juga terselip kecemasan dan sangat 'mempengaruhi' psikologi
keluarga.
Kabar Satinah bebas diakuinya sudah didengar, tapi bukan dari tim
pemerintah. Makanya pihak keluarga tak ingin berekspektasi lebih besar.
"Takutnya nanti salah, tetapi saya berjanji akan memberitahukan
dan memberikan komentar jika sudah diberi kepastian tim pemerintah," kata
Paeri.
Jangan Jadi Kebiasaan
Terpisah, Dirjen Hak Asasi Manusia Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo
mengatakan bahwa langkah pemerintah yang kerap membayar diyat untuk membebaskan
tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi dari ancaman pidana sebagai
kecenderungan tak bagus. “Ini kurang bagus,” ujarnya di Gedung Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Selasa (25/3). Harkristuti mengatakan
keluarga korban pembunuhan kerap menaikan besaran diyat ketika tahu bahwa
pemerintah Indonesia akan berupaya membebaskan TKI yang terancam hukuman mati.
Misalnya, dalam kasus Satinah yang awalnya diyat senilai Rp 2 miliar, lalu
melonjak menjadi Rp 21 miliar.
Lebih lanjut Harkristuti mengatakan bahwa pemerintah harus mencari
jalan untuk membebaskan TKI yang terjerat pidana mati selain dengan membayar
diyat. “Itu menjadi beban negara. Misalnya anggaran Rp21 miliar. Kan bisa
dialokasikan ke rakyat miskin,” tambahnya.
“Bila perhitungan Rp 21 miliar untuk Satinah, lalu akan ada berapa
orang lagi yang harus dibela,” ujarnya. Harkristuti mengatakan cara lain untuk
membebaskan TKI yang terjerat hukuman mati adalah dengan melakukan langkah
preventif berupa pembekalan pengetahuan hukum ke TKI yang akan diberangkatkan.
Sehingga, mereka akan berpikir dua kali bila ingin melakukan tindak pidana.
“Selain itu, pemerintah juga harus memaksimalkan lawyer-lawyer yang
ditunjuk untuk membela TKI yang bermasalah secara hukum,” tuturnya. Sebagai
informasi, hukum pidana di Arab Saudi menggunakan hukum qishos, bunuh dibalas
dengan bunuh (hukuman mati). Namun, si pembunuh bisa lolos dari jerat hukuman
mati asalkan keluarga korban memberi maaf. Bentuk maaf ini ada yang berupa maaf
murni, ada juga maaf yang diberikan dengan konsekuensi pembayaran diyat (denda
dari pelaku ke keluarga korban). Nominal dari diyat ini ditentukan oleh
keluarga (ahli waris) korban.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID
TANGGAPAN TERHADAP ARTIKEL DI ATAS
Kasus ini seperti kasus – kasus TKI Indonesia yang lainnya, yang mana TKI Indonesia seperti diberi ketidakadilan disana karena selalu dijadikan tersangka terhadap kasus kasus yang menerpa TKI Indonesia. Padahal TKI tersebut tidak semuanya bersalah atas yang dituduhkan majikan kepadanya, pada kasus ini Satinah hanya membela diri karena majikannya sangat kasar terhadapnya. Kalau salah bekerja sedikit akan langsung dipukul dan pada saat kejadian tersebut Satinah tidak sengaja membunuh pada saat membela dirinya dan pengadilan sana tetap menyalahkan Satinah karena telah membunuh majikannya sendiri.
Dalam kasus ini kita tidak sepantasnya menyalahkan Satinah yang telah membebankan Negara Indonesia untuk membayar uang tebusan dari hukumannya, tapi kita juga tidak bisa menyalahkan Arab Saudi atas kasus ini. Menurut saya kasus ini harus benar benar diselidiki oleh kedua Negara dan memastikan kejadian yang sebenarnya terjadi agar tidak ada pro dan kontra terhadap kedua Negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar